Banyak wanita menyalahartikan kebebasan, termasuk diri saya sendiri.
Beberapa hari terakhir ini saya baru belajar mengartikan peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada diri saya.
Saya adalah seorang pemberontak di keluarga. Saya merasa hidup saya terkekang
karena orang tua yang begitu protektif. Saya merasa orang tua saya tidak mengerti
kemauan anaknya. Dikekang seperti merpati yang berada di sangkar emas membuat
saya muak dan berjuang agar mendapat kebebasan seperti teman-teman yang
lain.
Saat usia remaja, ketika teman-teman sebaya saya sudah mengenal lawan jenis,
orang tua saya mati-matian melarang saya untuk bersentuhan dengan lawan jenis
meskipun itu hanya sebatas teman. Ketika teman-teman bisa dengan bebas menikmati
malam Minggu di tempat tongkrong anak muda sampai larut malam, saya hanya bisa
berdiam diri di rumah.
Bertahun-tahun saya menjalani hal semacam itu. Dikotakkan, diatur, selalu
menurut apapun perintah orang tua, seakan akan hanyalah boneka Barbie—cantik dan
indah namun kosong. Tapi saya tak pernah mengecewakan. Dari SD sampai ketingkat
SMK saya berhasil masuk ke sekolah yang diinginkan Ayah. Bahkan jurusan yang
saya ambil juga dari pilihan Ayah. Sampai ketika saya merasa keluar dan menemukan
dunia baru.
Ketika saya memasuki tingkat dua di sekolah kejuruan itu, saya mencoba
peruntungan dengan bergabung di majalah sekolah. Dari situ saya mulai mengenal
beberapa orang dan mulai berinteraksi dengan orang asing. Dan ketika saya
mendapatkan tugas liputan di mana saya harus belajar berani menghadapi orang
dan pergi tanpa ada yang mengawal, di situlah awal saat saya merasa bisa bebas
mengekpresikan diri saya. Tentunya dengan didampingi seorang pembimbing, saya
menemukan dunia yang saya gemari: dunia media.
Pekerjaan menuntut waktu saya. Tugas untuk liputan sebuah konser
pastilah akan membuat saya pulang ke rumah tengah malam, terlebih saat saya
untuk pertama kalinya ditawari bergabung di sebuah production house yang tak mengenal
waktu.
Saat itu saya mulai akrab dengan dunia malam dalam arti bisa berkegiatan
di luar rumah sampai malam bahkan dini hari yang tentu kontras dengan kehidupan
saya sebelumnya. Kala itu, untuk ke warung saja harus dikawal Ayah atau Ibu.
Namun orang tua saya mengizinkan karena mereka juga bangga ketika saya masih
duduk di bangku kelas 2 SMK saya sudah bisa mendapatkan penghasilan dan ikut
dalam sebuah produksi film.
Kebiasaan itu berlanjut. Sampai saat diam-diam saya menjalin hubungan dengan
lawan jenis, saya sering berbohong dengan alasan mendapat tugas dari kantor, sedangkan
yang sebenarnya adalah menemui pacar saya. Satu tahun berlalu, surat tanda
tamat belajar sudah di tangan, saya melanjutkan pekerjaan sebagai reporter di
majalah lokal tersebut dan menjadi penulis lepas di sebuah surat kabar.
Orang tua saya mulai tidak nyaman ketika mereka melihat saya tidak
memiliki penghasilan tetap. Mereka mencarikan banyak pekerjaan untuk saya,
namun saya menolak dan keukeuh mempertahankan dunia saya. Di situlah titik mula
saya berani melawan orang tua. Sampai suatu hari saya mendapatkan tawaran kerja
sebagai editor video serta merangkap sebagai pengambil gambar. Sebagai fresh
graduate, penghasilan saya jauh dari yang diharapkan. Tentunya orang tua saya
bawel dengan penghasilan saya seperti itu. Saya pun hanya bertahan satu tahun.
Saya sempat menganggur tiga
bulan. Hanya menghabiskan waktu dirumah dan main. Di samping itu saya mengirim
surat lamaran di stasiun TV lokal. Ayah berusaha mencarikan pekerjaan kantoran
biasa, yang jelas saya tolak. Ada pula tetangga yang datang untuk menawari saya
pelatihan di sebuah maskapai penerbangan. Ini juga saya tolak karena saya
merasa tidak bebas jika bekerja disebuah perkantoran.
Saya ingin tetap bekerja di dunia media yang tidak dibatasi oleh waktu
kerja. Walaupun orang tua saya membodoh-bodohkan saya karena hal itu, saya
tetap keukeuh berada di jalan saya. Sampai suatu hari saya mendapat panggilan kerja.
Sebuah rumah produksi memanggil saya untuk tes wawancara dan akhirnya
saya diterima dan langsung berkerja pada hari itu juga. Orang tua saya mulai
mengerti jalan yang ingin saya tempuh. Di situlah saya semakin menemukan dunia
saya, yaitu terlibat dalam beberapa produksi program TV nasional. Saya mulai mengenal
orang-orang baru dan belajar apa yang saya inginkan. Orang tua saya paham betul
pekerjaan yang berhubungan dengan media tidak mengenal waktu. Sakan-akan waktu
kita dibeli oleh tempat kerja.
Berangkat pagi pulang larut bahkan dini hari saya lalui dan begitu saya
nikmati. Dan orang tua saya percaya penuh atas apa yang saya kerjakan, sampai-sampai
saya menyalah gunakan kepercayaan orang tua saya. Sepulang kantor saya tidak lantas
pulang ke rumah, namun menghabiskan waktu untuk nongkrong dengan pujaan hati
sampai tidak mengenal waktu.
Ya, di tempat kerja baru itu saya memiliki kekasih yang baru pula.
Namun tak seperti yang saya bayangkan, kekasih saya ini memiliki watak yang
sama dengan orang tua saya, yaitu suka mengekang dan menuntut waktu saya. Jadi
saya sering berbohong kepada orang tua dan memilih menghabiskan waktu di luar
ketimbang di rumah.
Berangkat pagi pulang pagi, seakan-akan rumah hanya tempat mampir istirahat
sejenak dan mandi. Makan pun tak di rumah. Bertahan setahun dengan kekangan itu,
saya pergi meninggalkan kekasih saya itu. Dan seperti istilah macan yang baru
keluar dari kandangnya, itulah saya. Saya merasa begitu bebas dalam melakukan semua hal yang saya suka.
Saya bebas mendekati pria pria manapun yang saya sukai. Saya bebas
nongkrong di manapun dan dengan siapapun. Tidak di sebuah kandang apapun, sampai
ketika saya mengenal
tato, rokok, dan minuman beralkohol, bahkan diskotek.
Gonta-ganti pacar, nongkrong sampai pagi. Sering pulang larut malam,
tidak bertegur sapa dengan orang tua sehingga membuat mereka begitu khawatir. Semua
hal yang saya inginkan bisa saya dapatkan dengan mudah. Saya juga sempat berpikir
apa mau Tuhan setiap hal yang saya ingin selalu ada di hadapan sesaat setelah
saya memikirkannya.
Saya begitu bebas tanpa ada yang menegur tanpa ada yang mengingatkan.
Hubungan saya dan orang tua pun semakin buruk. Sampai suatu hari saya jatuh
cinta pada pria dari sebuah perkenalan yang tak disengaja. Namun orang tersebut
adalah pria kolot yang benar-benar jauh dari dunia saya. Dia selalu menegur, menegur,
dan menegur attitude saya. Saya anggap dia tidak paham dengan dunia saya, hingga
pada akhirnya dia meninggalkan saya.
Dari situ saya mulai berpikir, apakah benar yang dikatakannya bahwa
saya bukan wanita baik-baik? Terlalu bebas, ingin berfoya-foya, tak ingin diganggu
siapapun, melakukan semua hal sesuka hati. Ketika itulah saya terbelalak.
Di suatu tempat tongkrong, saya melihat beberapa wanita yang bisa
dikatakan nakal, dan saya seperti jatuh dari ketinggian lalu bertanya kepada
diri saya sendiri, apakah diri saya seperti siapa yang saya lihat? Oh, begitu
buruk saya merasakan diri saya sendiri. Dan ketika terpuruk, tidak ada tempat
kembali selain rumah—rumah yang sebenarnya. Orang tua...
Dan ketika saya pulang ke rumah awal sekali—sesuatu yang tak pernah
saya lakukan—saya melihat roman muka orang tua saya begitu berbeda. Mereka
seperti merindukan hal yang lama hilang. Ibu yang selama ini saya sepelekan,
tiba-tiba melayani saya dengan memberikan banyak sekali makanan dan begitu memperhatikan
saya.
Saat itu pula saya merasa ditusuk tombak tepat di jantung saya. Saya begitu
kecewa dengan diri saya sendiri. Mengapa saya begitu menyia-nyiakan orang tua
yang begitu tulus mencintai dan menerima saya apa adanya lebih dari siapapun? Selama
ini mereka begitu mengekang saya karena mereka tidak ingin saya disakiti oleh “spesies”
bernama laki-laki.
Begitu bersedih saya atas diri saya sendiri ketika mengetahui bahwa keluarga
kita sendirilah tempat terindah di dunia ini. Dan saat itu pula saya sadar
bahwa sebenarnya selama ini saya telah menyalahartikan kebebasan.
Kebebasan yang sebenarnya adalah ketika saya sebagai wanita mengartikan
kebebasan untuk mengekspresikan diri dengan belajar setinggi mungkin, beropini,
berkarier, dan menentukan cita-cita. Bukan bebas dalam arti semaunya sendiri.
Pulang malam untuk hura-hura, tak ber-attitude, melakukan segala sesuatu tanpa
memikirkan orang lain dan lingkungan serta dampak pada diri sendiri.
Tidak heran jika saya sendiri terkadang merasa tidak berguna dan hanya
menjadi seonggokan daging yang tidak dibutuhkan oleh siapapun, karena setiap
hari haya menghabiskan waktu hanya untuk ngelayap. Ya, Tuhan... begitu buruknya
saya!
Hari demi hari saya menyesali semua yang sudah saya perbuat. Bahkan cap
wanita buruk pun telanjur saya tempelkan sendiri tepat di kening! Tidak ada daya tidak ada kata
sakan-akan sudah tidak ada harapan lagi karena saking kecewanya saya dengan
diri saya sendiri. Masa depan saya seakan sudah ditakdirkan buruk.
Namun ketika saya berpikir tentang peristiwa-peristiwa yang saya alami
dan melihat orang tua saya, saya tidak ingin mengecewakan mereka lagi. Saya hanya
berpikir, buat apa disesali wong sudah dijalani? Dan dari situlah saya belajar
dari kesalahan-kesalahan yang saya perbuat.
Saya ingin membuat orang tua saya kembali bangga, karena hanya tinggal saya
satu-satunya harapan mereka. Dan saya berusaha mengubah diri saya menjadi
wanita yang baik dan bisa menjadi teladan bagi wanita lain.
Saya kembali ke kampus untuk belajar, melanjutkan kursus bahasa yang
sempat tertunda, dan bekerja dengan baik, tidak menyia-nyiakan waktu, serta menyalahgunakan
kebebasan.
Viany
Okta
03.41 WIB
aku terharu mbaca ini...
BalasHapus