Selasa, 25 September 2012

Apesnya yang Ulang Tahun


Yang namanya disebuah perkantoran pasti hubungan antar rekan kerja menjadi akrab karna hampir setiap hari waktu kita habiskan bersama. Keakraban antar teman pasti sesekali menimbulkan kejahilan kejahilan. Seperti yang sering terjadi dikantor saya. Banyak kebiasan kebiasaan jahil yang sering dilakukan.
Saat ulang tahun adalah hari apes bagi warga kantor saya. Bagaimana tidak, karena yang memiliki hari jadi ditanggal tersebut harus mencicipi segarnya air kolam yang berada di taman kantor. Ya, setelah dianiaya sejenak dengan coretan dimuka dan tangan serta kaki yang diikat, si target (orang yang berulang tahun) diboyong kepinggir kolam yang memiliki kedalaman 60 cm. Dia diangkat dicelupkan diangkat lagi beberapa kali diulang untuk pemanasan lalu dilempar. Terus ditinggal begitu saja. Para pengeksekusi lari untuk bersembunyi agar terhindar dari pembalasan dendam si korban.
Seringnya orang yang menjadi target itu bangkit dari kolam dengan keadaan basah kuyup ia berlari mencari mangsa untuk balas dendam. Entah dibasahi dengan baju atau kaos kaki mereka hiiiy….

Harusnya ya, orang ulang tahun itu dikasi hadiah. Diseneng-sengengin, malah dianiyaya kayak gitu.

Minggu, 16 September 2012

Arti Sebuah Kebebasan



Banyak wanita menyalahartikan kebebasan, termasuk diri saya sendiri. Beberapa hari terakhir ini saya baru belajar mengartikan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada diri saya.
Saya adalah seorang pemberontak di keluarga. Saya merasa hidup saya terkekang karena orang tua yang begitu protektif. Saya merasa orang tua saya tidak mengerti kemauan anaknya. Dikekang seperti merpati yang berada di sangkar emas membuat saya muak dan berjuang agar mendapat kebebasan seperti teman-teman yang lain.
Saat usia remaja, ketika teman-teman sebaya saya sudah mengenal lawan jenis, orang tua saya mati-matian melarang saya untuk bersentuhan dengan lawan jenis meskipun itu hanya sebatas teman. Ketika teman-teman bisa dengan bebas menikmati malam Minggu di tempat tongkrong anak muda sampai larut malam, saya hanya bisa berdiam diri di rumah.
Bertahun-tahun saya menjalani hal semacam itu. Dikotakkan, diatur, selalu menurut apapun perintah orang tua, seakan akan hanyalah boneka Barbie—cantik dan indah namun kosong. Tapi saya tak pernah mengecewakan. Dari SD sampai ketingkat SMK saya berhasil masuk ke sekolah yang diinginkan Ayah. Bahkan jurusan yang saya ambil juga dari pilihan Ayah. Sampai ketika saya merasa keluar dan menemukan dunia baru.
Ketika saya memasuki tingkat dua di sekolah kejuruan itu, saya mencoba peruntungan dengan bergabung di majalah sekolah. Dari situ saya mulai mengenal beberapa orang dan mulai berinteraksi dengan orang asing. Dan ketika saya mendapatkan tugas liputan di mana saya harus belajar berani menghadapi orang dan pergi tanpa ada yang mengawal, di situlah awal saat saya merasa bisa bebas mengekpresikan diri saya. Tentunya dengan didampingi seorang pembimbing, saya menemukan dunia yang saya gemari: dunia media.
Pekerjaan menuntut waktu saya. Tugas untuk liputan sebuah konser pastilah akan membuat saya pulang ke rumah tengah malam, terlebih saat saya untuk pertama kalinya ditawari bergabung di sebuah production house yang tak mengenal waktu.
Saat itu saya mulai akrab dengan dunia malam dalam arti bisa berkegiatan di luar rumah sampai malam bahkan dini hari yang tentu kontras dengan kehidupan saya sebelumnya. Kala itu, untuk ke warung saja harus dikawal Ayah atau Ibu. Namun orang tua saya mengizinkan karena mereka juga bangga ketika saya masih duduk di bangku kelas 2 SMK saya sudah bisa mendapatkan penghasilan dan ikut dalam sebuah produksi film.
Kebiasaan itu berlanjut. Sampai saat diam-diam saya menjalin hubungan dengan lawan jenis, saya sering berbohong dengan alasan mendapat tugas dari kantor, sedangkan yang sebenarnya adalah menemui pacar saya. Satu tahun berlalu, surat tanda tamat belajar sudah di tangan, saya melanjutkan pekerjaan sebagai reporter di majalah lokal tersebut dan menjadi penulis lepas di sebuah surat kabar.
Orang tua saya mulai tidak nyaman ketika mereka melihat saya tidak memiliki penghasilan tetap. Mereka mencarikan banyak pekerjaan untuk saya, namun saya menolak dan keukeuh mempertahankan dunia saya. Di situlah titik mula saya berani melawan orang tua. Sampai suatu hari saya mendapatkan tawaran kerja sebagai editor video serta merangkap sebagai pengambil gambar. Sebagai fresh graduate, penghasilan saya jauh dari yang diharapkan. Tentunya orang tua saya bawel dengan penghasilan saya seperti itu. Saya pun hanya bertahan satu tahun.
 Saya sempat menganggur tiga bulan. Hanya menghabiskan waktu dirumah dan main. Di samping itu saya mengirim surat lamaran di stasiun TV lokal. Ayah berusaha mencarikan pekerjaan kantoran biasa, yang jelas saya tolak. Ada pula tetangga yang datang untuk menawari saya pelatihan di sebuah maskapai penerbangan. Ini juga saya tolak karena saya merasa tidak bebas jika bekerja disebuah perkantoran.
Saya ingin tetap bekerja di dunia media yang tidak dibatasi oleh waktu kerja. Walaupun orang tua saya membodoh-bodohkan saya karena hal itu, saya tetap keukeuh berada di jalan saya. Sampai suatu hari saya mendapat panggilan kerja.
Sebuah rumah produksi memanggil saya untuk tes wawancara dan akhirnya saya diterima dan langsung berkerja pada hari itu juga. Orang tua saya mulai mengerti jalan yang ingin saya tempuh. Di situlah saya semakin menemukan dunia saya, yaitu terlibat dalam beberapa produksi program TV nasional. Saya mulai mengenal orang-orang baru dan belajar apa yang saya inginkan. Orang tua saya paham betul pekerjaan yang berhubungan dengan media tidak mengenal waktu. Sakan-akan waktu kita dibeli oleh tempat kerja.
Berangkat pagi pulang larut bahkan dini hari saya lalui dan begitu saya nikmati. Dan orang tua saya percaya penuh atas apa yang saya kerjakan, sampai-sampai saya menyalah gunakan kepercayaan orang tua saya. Sepulang kantor saya tidak lantas pulang ke rumah, namun menghabiskan waktu untuk nongkrong dengan pujaan hati sampai tidak mengenal waktu.
Ya, di tempat kerja baru itu saya memiliki kekasih yang baru pula. Namun tak seperti yang saya bayangkan, kekasih saya ini memiliki watak yang sama dengan orang tua saya, yaitu suka mengekang dan menuntut waktu saya. Jadi saya sering berbohong kepada orang tua dan memilih menghabiskan waktu di luar ketimbang di rumah.
Berangkat pagi pulang pagi, seakan-akan rumah hanya tempat mampir istirahat sejenak dan mandi. Makan pun tak di rumah. Bertahan setahun dengan kekangan itu, saya pergi meninggalkan kekasih saya itu. Dan seperti istilah macan yang baru keluar dari kandangnya, itulah saya. Saya merasa begitu bebas dalam  melakukan semua hal yang saya suka.
Saya bebas mendekati pria pria manapun yang saya sukai. Saya bebas nongkrong di manapun dan dengan siapapun. Tidak di sebuah kandang apapun, sampai ketika saya mengenal tato, rokok, dan minuman beralkohol, bahkan diskotek.
Gonta-ganti pacar, nongkrong sampai pagi. Sering pulang larut malam, tidak bertegur sapa dengan orang tua sehingga membuat mereka begitu khawatir. Semua hal yang saya inginkan bisa saya dapatkan dengan mudah. Saya juga sempat berpikir apa mau Tuhan setiap hal yang saya ingin selalu ada di hadapan sesaat setelah saya memikirkannya.
Saya begitu bebas tanpa ada yang menegur tanpa ada yang mengingatkan. Hubungan saya dan orang tua pun semakin buruk. Sampai suatu hari saya jatuh cinta pada pria dari sebuah perkenalan yang tak disengaja. Namun orang tersebut adalah pria kolot yang benar-benar jauh dari dunia saya. Dia selalu menegur, menegur, dan menegur attitude saya. Saya anggap dia tidak paham dengan dunia saya, hingga pada akhirnya dia meninggalkan saya.
Dari situ saya mulai berpikir, apakah benar yang dikatakannya bahwa saya bukan wanita baik-baik? Terlalu bebas, ingin berfoya-foya, tak ingin diganggu siapapun, melakukan semua hal sesuka hati. Ketika itulah saya terbelalak.
Di suatu tempat tongkrong, saya melihat beberapa wanita yang bisa dikatakan nakal, dan saya seperti jatuh dari ketinggian lalu bertanya kepada diri saya sendiri, apakah diri saya seperti siapa yang saya lihat? Oh, begitu buruk saya merasakan diri saya sendiri. Dan ketika terpuruk, tidak ada tempat kembali selain rumah—rumah yang sebenarnya. Orang tua...
Dan ketika saya pulang ke rumah awal sekali—sesuatu yang tak pernah saya lakukan—saya melihat roman muka orang tua saya begitu berbeda. Mereka seperti merindukan hal yang lama hilang. Ibu yang selama ini saya sepelekan, tiba-tiba melayani saya dengan memberikan banyak sekali makanan dan begitu memperhatikan saya.
Saat itu pula saya merasa ditusuk tombak tepat di jantung saya. Saya begitu kecewa dengan diri saya sendiri. Mengapa saya begitu menyia-nyiakan orang tua yang begitu tulus mencintai dan menerima saya apa adanya lebih dari siapapun? Selama ini mereka begitu mengekang saya karena mereka tidak ingin saya disakiti oleh “spesies” bernama laki-laki.
Begitu bersedih saya atas diri saya sendiri ketika mengetahui bahwa keluarga kita sendirilah tempat terindah di dunia ini. Dan saat itu pula saya sadar bahwa sebenarnya selama ini saya telah menyalahartikan kebebasan.
Kebebasan yang sebenarnya adalah ketika saya sebagai wanita mengartikan kebebasan untuk mengekspresikan diri dengan belajar setinggi mungkin, beropini, berkarier, dan menentukan cita-cita. Bukan bebas dalam arti semaunya sendiri. Pulang malam untuk hura-hura, tak ber-attitude, melakukan segala sesuatu tanpa memikirkan orang lain dan lingkungan serta dampak pada diri sendiri.
Tidak heran jika saya sendiri terkadang merasa tidak berguna dan hanya menjadi seonggokan daging yang tidak dibutuhkan oleh siapapun, karena setiap hari haya menghabiskan waktu hanya untuk ngelayap. Ya, Tuhan... begitu buruknya saya!
Hari demi hari saya menyesali semua yang sudah saya perbuat. Bahkan cap wanita buruk pun telanjur saya tempelkan sendiri tepat di kening! Tidak ada daya tidak ada kata sakan-akan sudah tidak ada harapan lagi karena saking kecewanya saya dengan diri saya sendiri. Masa depan saya seakan sudah ditakdirkan buruk.
Namun ketika saya berpikir tentang peristiwa-peristiwa yang saya alami dan melihat orang tua saya, saya tidak ingin mengecewakan mereka lagi. Saya hanya berpikir, buat apa disesali wong sudah dijalani? Dan dari situlah saya belajar dari kesalahan-kesalahan yang saya perbuat.
Saya ingin membuat orang tua saya kembali bangga, karena hanya tinggal saya satu-satunya harapan mereka. Dan saya berusaha mengubah diri saya menjadi wanita yang baik dan bisa menjadi teladan bagi wanita lain.
Saya kembali ke kampus untuk belajar, melanjutkan kursus bahasa yang sempat tertunda, dan bekerja dengan baik, tidak menyia-nyiakan waktu, serta menyalahgunakan kebebasan.

Viany Okta
03.41 WIB